Rahasia Falsafah “Wang Sinawang”
- account_circle admin
- calendar_month Sen, 30 Jun 2025
- visibility 40
- comment 0 komentar

Dalam bahasa Jawa kita mengenal beberapa ungkapan atau falsafah Jawa yang memiliki makna mendalam. Salah satunya, barangkali kita pernah dengar falsafah “Wang Sinawang”. Bagaimana Islam memandang falsafah ini? Mari cermati lebih dalam falsafah tersebut melalui uraian berikut.
Baik sobat semua, kita mulai dulu dengan ilustrasi. Ada seorang laki-laki berjas mewah naik mobil mewah. Dari balik jendela mobil ia melihat sepasang petani (suami istri) menikmati sarapan di pinggir sawah sambil tertawa. Sambil melihat mereka, laki-laki di dalam mobil bergumam dalam hati: “Alangkah bahagianya mereka bisa makan dalam keharmonisan?”
Sebaliknya, Pak Petani saat melihat mobil mewah yang melintas, berkata pada istrinya: “Alangkah beruntungnya orang yang bisa naik itu ya bu?” Lalu istrinya menjawab: “Iya, ya. Kapan kita punya mobil ya pak.” Padahal sepasang petani itu tidak tahu ternyata ada perempuan yang duduk termenung di belakang sambil meneteskan air mata.
Sobat semua, kadang rumput tetangga kadang tampak lebih hijau. Padahal kita tidak tahu, peristiwa apa yang terjadi. Terkadang kita memimpikan nikmat yang dimiliki orang lain. Sebaliknya, kadang kondisi kita saat ini diidam-idamkan orang lain. Itulah Wang Sinawang.
Lalu bagaimana Islam memandang falasah ini? Mari kita tengok dulu firman Allah dalam Surah Taha ayat 131.
وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلٰى مَا مَتَّعْنَا بِهٖٓ اَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ەۙ لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ ۗوَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَّاَبْقٰى
Artinya: Janganlah sekali-kali engkau tujukan pandangan matamu pada kenikmatan yang telah Kami anugerahkan kepada beberapa golongan dari mereka (sebagai) bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal. (Q.S. Taha [20]: 131)
Dari ayat tersebut, Allah Swt. seolah memerintahkan kita agar “Tidak sibuk melihat nikmat orang lain.” Pada hakikatnya nikmat tersebut adalah ujian. Maka, kunci bahagia itu sibuk mensyukuri nikmat yang kita rasakan sambil terus berikhtiar untuk meraih rahmat dan rezeki dari-Nya, bukan sibuk mengamati nikmat orang lain.
Sobat semua yang dimuliakan Allah Swt., bukankah dalam Surah Al-Fajr [89] ayat 15-16 Allah Swt. telah memberi gambaran dengan jelas. Kebanyakan manusia menganggap, jika ia diberi banyak nikmat berarti ia dimuliakan Allah Swt. Adapun, jika ia dibatasi rezekinya berarti Allah Swt. telah menghinakan. Allah Swt. justru menjawab: “Kalla” Sekali-kali tidak. Pada hakikatnya kelapangan kekayaan itu ujian. Begitu pula dengan kesempitan yang bersifat materi duniawi.
Oleh karena itu, melalui artikel ini sy mengingatkan diri sy pribadi dan sobat semua. Mari kita selalu memperbarui rasa syukur kita kepada Allah Swt. Bukankah Allah Swt. telah mendenyutkan jantung kita setiap hari, padahal kita tidak pernah minta dan tidak pernah berdoa. Bukankah saat kita melihat anak-anak kita ceria bermain dan tersenyum sehat itu juga nikmat. Rezeki itu pada hakikatnya sangat luas. Lha apakah harta tidak penting? Penting. Harta itu penting, tetapi rezeki yang kadang kita anggap sepele itu jauh lebih penting, seperti nikmat sehat, keluarga sehat, ketenangan, keharmonisan, keceriaan, nikmatnya ibadah.
Sobat semua yang dirahmati Allah Swt., yakinlah dalam hati bahwa tidak ada manusia di dunia ini yang sempurna. Setiap manusia pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Semua memiliki ujian dan garis takdir masing-masing. Maka di akhir artikel ini, saya ingin menegaskan melalui falsalah “Wang Sinawang” ini, ada satu pertanyaan besar. Apakah nikmat yang kita rasakan pada setiap episode kehidupan yang kita lalui, semakin mendekatkan diri kepada Allah atau belum? Semoga kita dimudahkan Allah Swt. agar senantiasa menjadi hambanya yang selalu bersyukur. Allahu a’lam bis sowab. (Faqirul Ilmi)
- Penulis: admin